Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Wayang menyajikan banyak nilai pendidikan sebagai tuntunan hidup. Semoga "The Wayang" dapat memberi inspirasi yang positif.

Download

Follow us on Twitter Subscribe to RSS Subscribe via Email

Rabu, 22 Januari 2014

Unknown  /  22.28  /    /  No comments


I Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Di dalam sastra disebutkan ada empat jalan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tertinggi, keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga terdiri dari Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga.  Bhakti Marga dan Karma Marga  Yoga mengajarkan kita mencari Tuhan di luar diri kita.
Bhakti Marga mewujudkan Tuhan dengan simbol-simbol, patung, pratima di pura. Sedangkan Karma Marga mewujudkan Tuhan di dalam diri orang yang menderita, sakit, kelaparan (membantu orang yang menderita). Jnana Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada di mana-mana. Sedangkan Raja Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada dalam diri sendiri. Di manapun Tuhan dipuja Beliau akan ada, termasuk dalam diri sendiri.
Keempat jalan spritual ini sebaiknya dipilih berdasarkan dari tingkat jnana atau pengetahuan spiritual yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang tingkat jnana-nya masih rendah sebaiknya menekuni ajaran Bhakti dan Karma Yoga. Sedangkan seseorang yang tingkat Jnana-nya sudah tinggi sebaiknya menekuni Jnana dan Raja Marga Yoga.
Dari keempat jalan tersebut pada umumnya masyakat Hindu di Bali banyak memilih ajaran Bakti Marga Yoga. Realisasi dari ajaran Bhakti Yoga dapat dilakukan melalui Nawa Widha Bhakti, yaitu: 1) Srawanam; mendengarkan wahyu Tuhan, 2) Kirtanam; Menyanyikan nama Tuhan, 3) Smaranam;  mengingat nama Tuhan, 4) Padasewanam; sujud dikaki Tuhan, 5) Arcanam; mempersembahkan bunga-bunga harum, 6) Wawadanam: merebahkan diri pasrah memuja Tuhan, 7) Dasyanam; melayani Tuhan, 8) Sakhyana; memuja Tuhan sebagai sahabat yang setia, 9) Atmawedanam : penyerahan total pada Tuhan.
Dalam kegiatan keagamaannya, masyarakat bali banyak menggunakan sarana-sarana ritual, salah satu bentuk sarana ritual yang digunakan adalah canang sari. Canangsari merupakan suatu bentuk reflektif dari Arcanam (mempersembahkan bunga-bunga harum) yang terdapat dalam ajaran Nawa Widha Bhakti.  Dengan demikian canangsari memiliki fungsi yang sangat penting dalam kegiatan keagamaan masyarakat bali. Lalu apakah yang dimaksud dengan canang sari itu? Kemudian bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat canangsari itu? Dan apakah ada makna filosofis yang terdapat dalam canangsari itu?

2.1 Pengertian Canangsari
Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Menurut Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu dan salah satunya adalah Mpu Sangkulputih.
Selain canangsari beliau juga menciptakan bentuk-bentuk canang yang lainya seperti: canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe. (http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html diakses 9 April 2012).
Canangsari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canangsari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Pada  jaman dahulu tradisi makan sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Hal itu hingga sekarang masih bertahan terutama kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih itu, yang di bali disebut dengan “Pecanagan” (Pasek Swastika,2008:90).
Setelah agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan kegiatan lain. Di Bali, setiap pembuatan upacara dari yang paling besar sampai yang paling kecilpun selalu mempergunakan daun sirih. Namun daun sirih tidak di pakai begitu saja, daun sirih dibentuk sedemikian rupa diisi dengan kapur atau pamor dan pinang, selanjutnya dilipat kedalam lipatan janur kemudian ditusuk dengan semat. Rangakaian daun sirih, Pamor dan pinang ini di Bali disebut dengan porosan.
Porosan merupakan unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah canangsari tanpa adanya porosan maka canang belumlah memiliki nilai agama secara spiritual. Porosan inilah yang memberikan fungsi yang sangat penting pada canangsari. Canangsari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canangsari.

2.2 Makna Filosofis Canangsari
Canangsari sebagai salah satu sarana dalam upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari beberapa bahan penting yang masing-masing bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu yaitu:
1.        Canangsari
Canangsari memakai alas berupa ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbebtuk segi empat. Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya akan memiliki makna delapan mata arah angina atau “astadala”.
2.        Porosan
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan sebagai dasar dari Canang, adapun makna filosofis dari porosan ini adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
Pemujaan ini dilakukan untuk memohon tuntunan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murti, dengan jalan menumbuhkan dan memelihara/mempertahankan pikiran hening suci serta dapat menghindarkan atau menghilangkan segala bentuk pengaruh buruk duniawi untuk tercapainya hidup yang bahagia sejahtera.
Jika kita kita kaitkan dengan Ajaran Saiwa Shidanta maka porosan yang ada dalam Canangsari dapat di jadikan salah satu bukti filosofis adanya penyatuan sekte agni yang memuja Dewa Brahama, sekte waisnawa yang memuja Wisnu dan sekte Siwa yang memuja Dewa Siwa kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa Shidanta.
3.        Bunga
Bunga melambangkan ketulus iklasan dan kesucian di saat kita melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah bunga yang masih segar dan berbau harum dan jangan sampai memakai bunga yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi bunga yang tumbuh dikuburan.
Penataan bunga juga harus berdasarkan warnanya diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata. Untuk urutannya disini kita menggunakan patokan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa) (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Jika dikaji dari segi penataan dan dari warna bunga yang digunakan dalam canangsari menurut Purwa/Murwa Daksina dan kita kaitkan dengan konsep penyatuan sekte-sekte dalam ajaran Saiwa Shidanta maka canangsari juga dapat dijadikan sebagai bukti filosofis adanya penyatuan sekte-sekte dalam sarana upacara dalam konsep Saiwa Shidanta.
4.        Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Unsur-unsur banten selain buah-buahan dan bunga, ada juga yang disebut dengan plawa (dedaunan), tatuwesan atau reringgitan yang penuh dengan ornamen-ornamen indah, dalam Lontar Yajnya Prakrti ditegaskan sebagai berikut:
Reringgitan, Tatuwesan Pinaka Kalanggengan Kayunta Mayajnya, Sekare Pinaka Kaheningan Kayunta Mayajnya, Plawa Pinaka Peh Pekayunane Suci, Raka-Raka Pinaka Widyadhara-Widyadhari

Terjemahanya:
Bentuk-bentuk ornament (Reringitan) sebagai lambang ketekunan untuk berkorban, bunga sebagai lambang kesucian, dedaunan sebagai lambang pikiran baik, buah-buahan sebagai lambang utusan Dewa-Dewi.
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
         
Dari penjelasan lontar tersebut maka makna filosofis dari Tatuwesan atau Reringitan adalah bukti ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.
5.        Urasari
Bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastika yang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma Astadala. Padma Astadala merupakan lambing perputaran alam yang seimbang yang merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai berikut:
  1. Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
  2. Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora
  3. Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
  4. Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
  5. Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
  6. Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
  7. Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
  8. Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu
  9. Tengah, warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika, 2008: 90)
Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari adalah selain sebagai sthana dari para Dewata  Nawa Sanga juga merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan Anugrahnya dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, bahagia, dan sejahtera. Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.

3.1 Simpulan
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih  disebut dengan “Pecanagan”.
Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah.
Makna filosofis dari canangsari adalah secara teologis adalah tempat Sthana Ida Shang Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai dewata Nawa Sangga yang di mohon kehadirannya untuk memberiakan anugerah kepada manusia. Kemudian secar etika canangsari memiliki makna ketetapan hati dan bhakti kehadapan Ida Shang Hyang Widhi. Dan dari sudut pandang sejarah maka secara filosofis Canangsari merupakan simbol adanya penyatuan sekte-sekte kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa Shidanta.



DAFTAR PUSTAKA
Pasek Swastika, I Ketut, 2008. Arti Dan Makna Puja Tri Sandhya-Panca Sembah (Bunga, Api, Air,   Kwangen, Canang Sari, Pejati).Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012)
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
          

0 komentar:

Posting Komentar

Search