I Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Di dalam sastra disebutkan ada empat jalan yang dapat dilakukan untuk
mencapai tujuan tertinggi, keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga terdiri dari Bhakti
Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Bhakti Marga dan
Karma Marga Yoga mengajarkan kita mencari Tuhan di
luar diri kita.
Bhakti Marga mewujudkan Tuhan dengan simbol-simbol, patung, pratima di pura.
Sedangkan Karma Marga mewujudkan
Tuhan di dalam diri orang yang menderita, sakit, kelaparan (membantu orang yang
menderita). Jnana Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada di mana-mana.
Sedangkan Raja Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada dalam diri
sendiri. Di manapun Tuhan dipuja Beliau akan ada, termasuk dalam diri sendiri.
Keempat jalan spritual ini sebaiknya dipilih berdasarkan dari tingkat jnana atau pengetahuan spiritual yang
dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang tingkat jnana-nya masih rendah sebaiknya menekuni ajaran Bhakti dan Karma Yoga. Sedangkan seseorang yang tingkat Jnana-nya sudah tinggi sebaiknya menekuni Jnana dan Raja Marga Yoga.
Dari keempat jalan tersebut pada umumnya masyakat Hindu di Bali banyak
memilih ajaran Bakti Marga Yoga. Realisasi
dari ajaran Bhakti Yoga dapat dilakukan melalui Nawa Widha Bhakti, yaitu: 1) Srawanam; mendengarkan wahyu Tuhan, 2) Kirtanam; Menyanyikan nama Tuhan, 3) Smaranam; mengingat nama Tuhan, 4) Padasewanam; sujud dikaki Tuhan, 5) Arcanam; mempersembahkan bunga-bunga harum, 6) Wawadanam: merebahkan diri pasrah memuja Tuhan, 7) Dasyanam; melayani Tuhan, 8) Sakhyana; memuja Tuhan sebagai sahabat yang
setia, 9) Atmawedanam : penyerahan total pada Tuhan.
Dalam kegiatan keagamaannya, masyarakat bali banyak menggunakan
sarana-sarana ritual, salah satu bentuk sarana ritual yang digunakan adalah canang sari. Canangsari merupakan suatu bentuk reflektif dari Arcanam (mempersembahkan
bunga-bunga harum) yang terdapat dalam ajaran Nawa Widha Bhakti. Dengan
demikian canangsari memiliki fungsi
yang sangat penting dalam kegiatan keagamaan masyarakat bali. Lalu apakah yang
dimaksud dengan canang sari itu?
Kemudian bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat canangsari itu? Dan apakah ada makna filosofis yang terdapat dalam canangsari itu?
2.1
Pengertian Canangsari
Canangsari
merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan
Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan
melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang
menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan
lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang,
kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Menurut Bagus Sugriwa
dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali
wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu
memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta
meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara.
Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima
oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas
yaitu dan salah satunya adalah Mpu Sangkulputih.
Selain canangsari beliau juga menciptakan
bentuk-bentuk canang yang lainya
seperti: canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala,
pungu-pungu, beakala, ulap ngambe.
(http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html
diakses 9 April 2012).
Canangsari
sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canangsari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa
yaitu memohon kekuatan Widya
(Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung (http:// forum
diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Canangsari
berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan sirih adalah suatu
kebiasaan yang sangat dihormati. Hal itu hingga sekarang masih bertahan
terutama kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih itu, yang di bali
disebut dengan “Pecanagan” (Pasek Swastika,2008:90).
Setelah agama Hindu
berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan
kegiatan lain. Di Bali, setiap pembuatan upacara dari yang paling besar sampai
yang paling kecilpun selalu mempergunakan daun sirih. Namun daun sirih tidak di
pakai begitu saja, daun sirih dibentuk sedemikian rupa diisi dengan kapur atau
pamor dan pinang, selanjutnya dilipat kedalam lipatan janur kemudian ditusuk
dengan semat. Rangakaian daun sirih, Pamor dan pinang ini di Bali disebut
dengan porosan.
Porosan
merupakan
unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah canangsari tanpa adanya porosan maka canang belumlah memiliki
nilai agama secara spiritual. Porosan
inilah yang memberikan fungsi yang sangat penting pada canangsari. Canangsari ini dalam persembahyangan
penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap
banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canangsari.
2.2
Makna Filosofis Canangsari
Canangsari
sebagai salah satu sarana dalam upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri
dari beberapa bahan penting yang masing-masing bahan memiliki nilai-nilai
filosofis. Bahan-bahan itu yaitu:
1.
Canangsari
Canangsari
memakai alas berupa ceper,
pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbebtuk segi empat.
Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi empat
melambangkan Catur Loka Pala atau
empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya akan memiliki makna
delapan mata arah angina atau “astadala”.
2.
Porosan
Seperti yang telah
dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan
pinang. Porosan biasanya diletakkan
sebagai dasar dari Canang, adapun
makna filosofis dari porosan ini
adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai
Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang
pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang
pemujaan pada Dewa Wisnu.
Pemujaan ini dilakukan
untuk memohon tuntunan kepada Ida Sang
Hyang Widhi dalam wujudnya
sebagai Tri Murti, dengan jalan
menumbuhkan dan memelihara/mempertahankan pikiran hening suci serta dapat
menghindarkan atau menghilangkan segala bentuk pengaruh buruk duniawi untuk
tercapainya hidup yang bahagia sejahtera.
Jika kita kita kaitkan
dengan Ajaran Saiwa Shidanta maka porosan yang ada dalam Canangsari dapat di jadikan salah satu
bukti filosofis adanya penyatuan sekte agni
yang memuja Dewa Brahama, sekte waisnawa
yang memuja Wisnu dan sekte Siwa yang
memuja Dewa Siwa kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa Shidanta.
3.
Bunga
Bunga melambangkan
ketulus iklasan dan kesucian di saat kita melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga yaitu; bunga yang dipakai disini
adalah bunga yang masih segar dan berbau harum dan jangan sampai memakai bunga
yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi bunga yang tumbuh dikuburan.
Penataan bunga juga
harus berdasarkan warnanya diatur dengan etika
dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata. Untuk urutannya disini kita menggunakan patokan
urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu
diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk
menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah
disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya
dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar
memercikkan Tirtha Kamandalu untuk
menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning
disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha
Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun
untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi
kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah,
adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha
Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa) (http://
forum
diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Jika dikaji dari segi
penataan dan dari warna bunga yang digunakan dalam canangsari menurut Purwa/Murwa
Daksina dan kita kaitkan dengan konsep penyatuan sekte-sekte dalam ajaran Saiwa Shidanta maka canangsari juga dapat dijadikan sebagai bukti filosofis adanya
penyatuan sekte-sekte dalam sarana upacara dalam konsep Saiwa Shidanta.
4.
Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Unsur-unsur banten
selain buah-buahan dan bunga, ada juga yang disebut dengan plawa (dedaunan), tatuwesan
atau reringgitan yang penuh dengan
ornamen-ornamen indah, dalam Lontar Yajnya
Prakrti ditegaskan sebagai berikut:
Reringgitan, Tatuwesan Pinaka Kalanggengan Kayunta
Mayajnya, Sekare Pinaka Kaheningan Kayunta Mayajnya, Plawa Pinaka Peh
Pekayunane Suci, Raka-Raka Pinaka Widyadhara-Widyadhari
Terjemahanya:
Bentuk-bentuk ornament
(Reringitan) sebagai lambang
ketekunan untuk berkorban, bunga sebagai lambang kesucian, dedaunan sebagai
lambang pikiran baik, buah-buahan sebagai lambang utusan Dewa-Dewi.
(http:// Stiti
Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober
2012)
Dari penjelasan lontar
tersebut maka makna filosofis dari Tatuwesan
atau Reringitan adalah bukti
ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi.
5.
Urasari
Bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastika yang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan
ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam
pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan
berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan yang menyilang
ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma
Astadala. Padma Astadala
merupakan lambing perputaran alam yang seimbang yang merupakan sumber kehidupan
untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Padma
Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai
berikut:
- Timur,
warna putih bersthana Dewa Iswara
- Tenggara,
warna merah Muda bersthana Dewa
Mahesora
- Selatan,
warna merah bersthana Dewa Brahama
- Barat Daya,
warna orange bersthana Dewa Rudra
- Barat,
warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
- Barat laut,
warna hijau bersthana Dewa Sangkara
- Utara,
warna hitam bersthana Dewa Wisnu
- Timur laut,
wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu
- Tengah,
warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika, 2008: 90)
Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari adalah selain sebagai sthana dari para Dewata Nawa Sanga juga
merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan Anugrahnya
dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, bahagia, dan sejahtera.
Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.
3.1
Simpulan
Canangsari
berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Di Bali kebiasaan
bagi para tetua dalam memakan daun sirih
disebut dengan “Pecanagan”.
Canangsari
merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan
Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah.
Makna filosofis dari canangsari adalah secara teologis adalah
tempat Sthana Ida Shang Hyang Widhi dalam
prabawa-Nya sebagai dewata Nawa Sangga yang di mohon kehadirannya untuk memberiakan
anugerah kepada manusia. Kemudian secar etika
canangsari memiliki makna ketetapan
hati dan bhakti kehadapan Ida Shang Hyang Widhi. Dan dari sudut pandang sejarah
maka secara filosofis Canangsari
merupakan simbol adanya penyatuan sekte-sekte kedalam satu konsep yang disebut
dengan Saiwa Shidanta.
DAFTAR
PUSTAKA
Pasek
Swastika, I Ketut, 2008. Arti Dan Makna Puja Tri Sandhya-Panca Sembah (Bunga,
Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati).Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Agung (http:// forum
diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012)
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis
_ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
0 komentar:
Posting Komentar