Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Wayang menyajikan banyak nilai pendidikan sebagai tuntunan hidup. Semoga "The Wayang" dapat memberi inspirasi yang positif.

Download

Follow us on Twitter Subscribe to RSS Subscribe via Email
  • Motivasi untuk mu

    Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan dan kenyamanan, mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan dan air mata (Dahlan Iskan)

  • Motivasi untuk mu

    Bangunlah dan tegakkan bahumu-berapa lamakah hidup ini? Karena engkau telah datang ke dunia ini, dan tinggalkan tanda jejak dibelakangmu. Kalau tidak, apa perbedaan dirimu dengan tumbuhan dan bebatuan? Mereka juga ada, tua dan MATI (Swami Vivekananda)

  • Motivasi untuk mu

    Hiduplah dengan Iklas, Hiduplah dengan Cerdas, Hiduplah dengan Bebas (Soeyasa)

Senin, 03 Februari 2014

Unknown  /  20.57  /  No comments

Dek Ulik - Bli Kade (Versi Karaoke)



  1. Dek Ulik - Bli Kade
  2. Dek Ulik_ Ngalih Tunangan
  3. Dek Ulik - Tresna Ilang
  4. Dek Ulik - Gelutan Sayang
  5. Dek Ulik - Suksema Bli
  6. Trio Januadi - Natad Termos


Sabtu, 25 Januari 2014

Unknown  /  00.25  /    /  No comments
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Meskipun sudah bukan hal yang baru lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman seperti yang diungkapkan Surtawan (2011: 1) bahwa modernisasi dan globalisasi  mengakibatkan semakin tergesernya sendi-sendi kehidupan, termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai religiusitas pada sebagian umat Hindu. Secara langsung globalisasi juga mempengaruhi sistem perkawinan masyarakat Bali.
Masyarakat Bali memiliki adat istiadat atau budaya yang sangat melekat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama hindu. Dalam prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam masyarakat dikenal berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Hal ini disebakan karena masyarakat Bali menganut system patrilineal. Dalam system ini pihak laki-laki mendapatkan posisi yang lebih, dan merupakan prioritas.
Namun ada sedikit pergeseran nilai yang terjadi didalam sistem perkawinan masyarakat Hindu. Kini dikenal istilah perkawinan Pada Gelahang. Lalu apa yang menyebabkan system perkawinan ini unik? Hali ini disebabkan karena baik pihak laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai Purusha di dalam keluarganya dan masih mempunyai hak dan kewajiban yang penuh didalam keluarganya masing-masing terutama dalam hal waris. Hal ini berbeda dengan perkawinan pada umumnya dimana pihak perempuan akan kehilangan hak dan kewajiban didalam keluarganya. Berbeda juga dengan system pernikahn nyentana yang dalam system pernikahan ini pihak laki-laki yang berfungsi sebagi Pradana yang secara otomatis menghapus hak dan kewajiban di keluarganya.
Perkawinan Pada Gelahang dalam perkembanganya banyak menuai pro dan kontra dimasyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa Pada Gelahang ini tidak sesuai dengan sistem adat Bali, karena mengfungsikan perempuan sebagai purusha. Sebagian yang menilai positif menggangap bawah Perkawinan Pada Gelahang merupakan solusi untuk keluarga yang melaksanakan perkawianan namun dari kedua pihak hanya memilki anak tunggal.
Terkait dengan hal tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Perkawinan Pada Gelahang Perspektif sastra veda”.

Unknown  /  00.12  /    /  No comments
         
Di suatu kerajaan hiduplah seorang Ratu yang Sangat cantik jelita, yang tidak hanya cantik parasnya saja namun juga cantik dalam sifat dan perilakunya. Beliau Sangat memperhatikan rakyatnya dan juga Sangat berbhakti kepada Dewa Siva. Namun diceritakan beliau sering merasa sedih karena suaminya yaitu Sang Raja tidak pernah berbhakti kepada Dewa Siva (manifestasi Brahman/ Ida Shang Hyang Widhi).
Kemudian Sang Ratu berjanji (mesesangi) di depan altar suci tempat pemujaan Dewa Siva, seraya berkata “ kapan saja ia menyaksikan atau melihat Sang suami yaitu Sang Raja melaksanakan atau setidaknya memilki rasa hormat kepada Dewa Siva, maka pada saat itu juga Sang Ratu kan melaksanakan puja di semua kuil dan membagi-bagikan makan kepada kaum miskin.
Suatu malam, ketika Sang Raja tertidur nyenyak tanpa sadar Sang Raja mengucapkan Om Namah Sivaya (mantram untuk memuja Dewa Siva) dengan vibrasi spiritual yang sangat tinggi. Sang Ratu mendengar namasmaranam (pengulangan anam-nama suci Tuhan) yang diucapkan oleh Sang Raja. Sanag Ratu sangat berbahagia mendengar bhakti suaminya kepada Dewa Siva.
Keesokan harinya Sang Ratu memerintahkan pada para menterinya untuk menyiapkan perayaan umum diseluruh kerajaan dan disertai pemberian makan kepada rakyat miskin. Sang Raja tidak mengetahui mengapa perayaan umum itu dilaksakan. Untuk menjawab rasa penasarannnya maka Sang Raja pun bertanya kepada istrinya maksud dari perayaan umum yang dilaksanakan oleh Sang Ratu.
Sang Ratu pun tersenyam dan menjawab bahwa perayaan ini dilaksanakan atas terkabulnya doa Sang Ratu. Sang Ratu pun melanjutkan, aku berdoa kepadaDewa Siva kapanpun jika engkau mau memuja Dewa Siva maka aku akan melaksakan perayaan seperti ini. Oleh karena Sang Raja kemarin malam mengigau meyebut-nyebut nama Deva Siva maka acara ini diselengarakan. Walaupun hanya dalam wujud gigauan aku sebagai istri Sangat bahagia sekali ketimbang tidak sam sekali. Sang Raja pun merasa Sangat bahagia karena memiliki istri yang Sangat perhatian hingga ke masalah spiritual.
Kemudian Sang Raja berkata “duhai istriku aku Sangat menyesal dengan kejadian kemarin malam, mengapa mulutku secara tak sadar mengucapkan Om Namah Sivaya. Tersentak Sang Ratu terkejut mendengar ucapan Sang Raja. Dengan hati yang Sangat terpukul ia pun berkata pada Sang Raja “apakah salah jika aku mengiginkan suaminya berbhakti kepada Dewa Siva (manifestasi Brahman/ Ida Shang Hyang Widhi). Lalu dengan sangat lembut Sang Raja memeluk Sang Ratu seraya membisikan sesuatu yang Sangat rahasia, Sang Raja berkata “bukan itu masalahnya, sesunguhnya aku dan leluhurku adalah pemuja Dewa Siva sejak dahulu kala dan juga aku ini. Hanya bhaktiku tidak boleh diketahu oleh siapaun termasuk oleh Sang Ratu. Karena Srada dan Bhakti itu bersifat Sangat rahasia, itulah sebabnya aku tidak pernah menunjukkan bhaktiku kepada siapapun termasuk kepada Sang Ratu. Aku tidak mau mendemonstrasikan Bhatiku di hadapan siapapun kecuali di hadapan Dewa Siva (Prinsip ini menjadi istilah aje were pada masyarakat Bali).
Mendengar perkataan Sang Raja, Sang Ratupun menjadi lemas dan langsung bersujud di kaki Sang Raja. Ratu pun memohon maaf atas kebodohannya dan kelancangannya yang tidak mengetahui begitu bijaksana dan tinggi kadar Srada (iman) yang dimiliki suaminya. Dengan lemah lembut Sang Raja menuntun istrinya untuk segera berdiri sambil berkata: “sudahlah dan bangkitlah marilah kita merayakan perayaan ini bersama seluruh rakyat keRajaan sebagai kemenangan Sang Ratu”. Kemudian Sang Raja menegaskan “nanti lain kali jangan mencoba untuk mengukur Sradha atau Iman orang lain, ya sayang, itu tidak boleh karena dalamnya laut boleh diduga tapi dalamnya iman seseorang siapa yang tahu kecuali Tuhan (Ida Shang Hyang Widhi) sendiri.

Refrensi: Diadaptasi dari Donder, I Ketut. 2006. Sisya Sista Pedoman Menjadi Mahasiswa Mulia Religiopsikososioedukatif. Surabaya. Paramita. Judul asli “Kaul Sang Ratu Untuk Bakti Sang Raja Pada Tuhan”.
Unknown  /  00.11  /    /  No comments

Ada sebuah iklan di televisi yang diperankan oleh seorang pemuda dengan perawakan yang atletis sebagai seorang pengangkut barang. Pada iklan di televisi tersebut diceritakan bahwa pemuda itu mendapatkan ibundanya yang sudah mulai sakit-sakitan tergolek lemah di tempat tidurnya. Padahal hari itu adalah ulang tahun ibundanya ke lima puluhlima.
Setelah pamitan, pemuda itu pergi melakoni pekerjaan hariannya yaitu mengantarkan barang milik majikannya ke tempat langganannya. Di perjalanan pemuda itu sedikit mengalami gundah gulana. Dalam hatinya, pemuda itu berharap memperoleh uang yang cukup untuk memberikan penghormatan pada ibundanya yang berulang tahun dengan mengadakan pesta makan malam bersama. Seperti biasa, setelah selesai mengantarkan barang-barang pesanan, pada sore hari pemuda itu memperoleh upah.
Namun, pada sore hari itu pemuda tersebut mendapatkan upah yang berlebih (tidak seperti biasanya) dari majikannya. Setelah dihitung ulang memang benar upah yang pemuda terima itu terlampau besar dan tanpa pikir panjang, pemuda itu mengembalikan uang tersebut kepada majikannya.
Majikannya sempat kaget. Namun, majikannya itu tidak sempat berbicara apa-apa karena pemuda itu telah berlalu meninggalkannya. Pada saat perjalanan pulang ke rumahnya, pemuda itu memutar otak bagaimana caranya uang sedikit yang diperoleh pada hari itu dibelanjakan untuk menghormati ibunya yang berulang tahun. Ketika sedang asyik-asyiknya berpikir, pemuda itu mendapatkan kerumunan orang yang sedang menonton adu ketangkasan melompati deretan mobil dengan sepeda motor. “Ini peluang memperoleh uang”, ujar pemuda itu dalam hati. Setelah mendaftarkan diri dan memperoleh nomor giliran dengan hati yang mantap, pemuda itu menjalankan motor sekencang-kencangnya dan terbang melompati deretan mobil, serta mendarat dengan selamat sekalipun berguling-guling.
Hal itu membuat pelipis kanannya robek. Dengan hati yang gembira ia memperoleh hadiah uang dan membelanjakan uang itu untuk pesta makan malam ibundanya yang berulang tahun. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemuda tersebut mengetahui uang yang bukan haknya tidak dapat dibelanjakan sekalipun amat dibutuhkan. Oleh karena itu, pemuda itu mengembalikannya secara suka rela pada si empunya (majikan). Ini menunjukkan bahwa pemuda itu mengetahui nilai kebaikan (moral knowing) dan mau berbuat baik (moral feeling), serta nyata berkehidupan baik (moral action).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemuda itu adalah sosok yang berkarakter. Karakter itu sendiri dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai kebajikan (tahu nilai kebajikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang tertanam dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku.


Refrensi: Dikutif dari buku: “Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi: Penguatan PKn, Layanan Bimbingan Konseling dan KKN Tematik” di Universitas Pendidikan Indonesia oleh Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si, dkk.

Rabu, 22 Januari 2014

Unknown  /  22.43  /    /  No comments
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang dan di klaim sebagai agama yang pertama dikenal oleh manusia. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
          Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Veda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Veda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
          Jaman Veda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra (http://www.parisada.org diakses tanggal 7-3-2013 pukul 11.00).
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmuwan barat seperti Max Muller, Sir William Jones, Sir John Marshall, Montiner, McKenzie dan yang lainya telah mendalami tentang agama Hindu, sehingga muncul bermacam-macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode, misi penyebarannya dan sejarah perkembangannya belum banyak dimengerti.
Para cendikiawan asing memang diakui memberikan sumbangan yang berharga dalam pengetahuan Veda. Kita harus mengakui dan mengahargai hal tersebut. Hal ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan Sri Chandrasakharendra Saraswati (2009) dalam bukunya The Veda “Peta Jalan Veda” menguraikan:
“Banyak peneliti seperti Max Muller dengan tekun mengumpulkan bahan serta menganalisisnya karena terinspirasi oleh keagungan Veda. Mereka menulis banyak buku tentang Veda. Kita akan terkesima melihat jumlah penerbitan yang dikeluarkan Asiatic Society, yang dibentuk lebih dari 200 tahun yang lalu oleh Sir William Jones, saat itu merupakan  Hakim pada Pengadilan Tinggi Kalkuta. Dengan bantuan East India Company Max Muller menerbitkan Rgveda dengan komentar Sayana serta banyak tesk keagamaan Hindu lainnya” (Sri Chandrasakharendra Saraswati, dalam Widnyani, dkk, 2010: 5).
Namun penulisan sejarah yang dipelopori oleh Barat di dalamnya terdapat muatan misi agama Kristen. Walaupun dalam prosedur penulisannya mereka selalu beroerintasi pada objektivitas penelitian, metodis, emperis dan syarat ilmiah lainnya. Tetapi karena desain pemikiran mereka telah dirancang sedimikian rupa, maka sikap hegemoni terhadap objek yang digambarkan akan cenderung tidak objektif.
Penulisan tentang perkembangan sejarah Hindu dipandang banyak yang disimpangkan secara sengaja, karena itu berbagai bantahan telah diajukan oleh para penulis India terhadap para penulis barat. Sebagai contoh yaitu teori penyerbuan orang-orang Arya atau teori invansi bagsa Arya yang dikemukan oleh cendikiawan barat pada abad ke 18 dan 19 pada saat inggris masih memerintah India yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu.
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu khususnya mengenai sejarah perkembangan Bangsa Arya.

Unknown  /  22.28  /    /  No comments


I Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Di dalam sastra disebutkan ada empat jalan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tertinggi, keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga terdiri dari Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga.  Bhakti Marga dan Karma Marga  Yoga mengajarkan kita mencari Tuhan di luar diri kita.
Bhakti Marga mewujudkan Tuhan dengan simbol-simbol, patung, pratima di pura. Sedangkan Karma Marga mewujudkan Tuhan di dalam diri orang yang menderita, sakit, kelaparan (membantu orang yang menderita). Jnana Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada di mana-mana. Sedangkan Raja Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada dalam diri sendiri. Di manapun Tuhan dipuja Beliau akan ada, termasuk dalam diri sendiri.
Keempat jalan spritual ini sebaiknya dipilih berdasarkan dari tingkat jnana atau pengetahuan spiritual yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang tingkat jnana-nya masih rendah sebaiknya menekuni ajaran Bhakti dan Karma Yoga. Sedangkan seseorang yang tingkat Jnana-nya sudah tinggi sebaiknya menekuni Jnana dan Raja Marga Yoga.
Dari keempat jalan tersebut pada umumnya masyakat Hindu di Bali banyak memilih ajaran Bakti Marga Yoga. Realisasi dari ajaran Bhakti Yoga dapat dilakukan melalui Nawa Widha Bhakti, yaitu: 1) Srawanam; mendengarkan wahyu Tuhan, 2) Kirtanam; Menyanyikan nama Tuhan, 3) Smaranam;  mengingat nama Tuhan, 4) Padasewanam; sujud dikaki Tuhan, 5) Arcanam; mempersembahkan bunga-bunga harum, 6) Wawadanam: merebahkan diri pasrah memuja Tuhan, 7) Dasyanam; melayani Tuhan, 8) Sakhyana; memuja Tuhan sebagai sahabat yang setia, 9) Atmawedanam : penyerahan total pada Tuhan.
Dalam kegiatan keagamaannya, masyarakat bali banyak menggunakan sarana-sarana ritual, salah satu bentuk sarana ritual yang digunakan adalah canang sari. Canangsari merupakan suatu bentuk reflektif dari Arcanam (mempersembahkan bunga-bunga harum) yang terdapat dalam ajaran Nawa Widha Bhakti.  Dengan demikian canangsari memiliki fungsi yang sangat penting dalam kegiatan keagamaan masyarakat bali. Lalu apakah yang dimaksud dengan canang sari itu? Kemudian bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat canangsari itu? Dan apakah ada makna filosofis yang terdapat dalam canangsari itu?

2.1 Pengertian Canangsari
Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Menurut Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu dan salah satunya adalah Mpu Sangkulputih.
Selain canangsari beliau juga menciptakan bentuk-bentuk canang yang lainya seperti: canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe. (http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html diakses 9 April 2012).
Canangsari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canangsari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Pada  jaman dahulu tradisi makan sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Hal itu hingga sekarang masih bertahan terutama kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih itu, yang di bali disebut dengan “Pecanagan” (Pasek Swastika,2008:90).
Setelah agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan kegiatan lain. Di Bali, setiap pembuatan upacara dari yang paling besar sampai yang paling kecilpun selalu mempergunakan daun sirih. Namun daun sirih tidak di pakai begitu saja, daun sirih dibentuk sedemikian rupa diisi dengan kapur atau pamor dan pinang, selanjutnya dilipat kedalam lipatan janur kemudian ditusuk dengan semat. Rangakaian daun sirih, Pamor dan pinang ini di Bali disebut dengan porosan.
Porosan merupakan unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah canangsari tanpa adanya porosan maka canang belumlah memiliki nilai agama secara spiritual. Porosan inilah yang memberikan fungsi yang sangat penting pada canangsari. Canangsari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canangsari.

2.2 Makna Filosofis Canangsari
Canangsari sebagai salah satu sarana dalam upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari beberapa bahan penting yang masing-masing bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu yaitu:
1.        Canangsari
Canangsari memakai alas berupa ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbebtuk segi empat. Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya akan memiliki makna delapan mata arah angina atau “astadala”.
2.        Porosan
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan sebagai dasar dari Canang, adapun makna filosofis dari porosan ini adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
Pemujaan ini dilakukan untuk memohon tuntunan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murti, dengan jalan menumbuhkan dan memelihara/mempertahankan pikiran hening suci serta dapat menghindarkan atau menghilangkan segala bentuk pengaruh buruk duniawi untuk tercapainya hidup yang bahagia sejahtera.
Jika kita kita kaitkan dengan Ajaran Saiwa Shidanta maka porosan yang ada dalam Canangsari dapat di jadikan salah satu bukti filosofis adanya penyatuan sekte agni yang memuja Dewa Brahama, sekte waisnawa yang memuja Wisnu dan sekte Siwa yang memuja Dewa Siwa kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa Shidanta.
3.        Bunga
Bunga melambangkan ketulus iklasan dan kesucian di saat kita melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah bunga yang masih segar dan berbau harum dan jangan sampai memakai bunga yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi bunga yang tumbuh dikuburan.
Penataan bunga juga harus berdasarkan warnanya diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata. Untuk urutannya disini kita menggunakan patokan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa) (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
Jika dikaji dari segi penataan dan dari warna bunga yang digunakan dalam canangsari menurut Purwa/Murwa Daksina dan kita kaitkan dengan konsep penyatuan sekte-sekte dalam ajaran Saiwa Shidanta maka canangsari juga dapat dijadikan sebagai bukti filosofis adanya penyatuan sekte-sekte dalam sarana upacara dalam konsep Saiwa Shidanta.
4.        Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Unsur-unsur banten selain buah-buahan dan bunga, ada juga yang disebut dengan plawa (dedaunan), tatuwesan atau reringgitan yang penuh dengan ornamen-ornamen indah, dalam Lontar Yajnya Prakrti ditegaskan sebagai berikut:
Reringgitan, Tatuwesan Pinaka Kalanggengan Kayunta Mayajnya, Sekare Pinaka Kaheningan Kayunta Mayajnya, Plawa Pinaka Peh Pekayunane Suci, Raka-Raka Pinaka Widyadhara-Widyadhari

Terjemahanya:
Bentuk-bentuk ornament (Reringitan) sebagai lambang ketekunan untuk berkorban, bunga sebagai lambang kesucian, dedaunan sebagai lambang pikiran baik, buah-buahan sebagai lambang utusan Dewa-Dewi.
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
         
Dari penjelasan lontar tersebut maka makna filosofis dari Tatuwesan atau Reringitan adalah bukti ketetapan hati untuk bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.
5.        Urasari
Bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastika yang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma Astadala. Padma Astadala merupakan lambing perputaran alam yang seimbang yang merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai berikut:
  1. Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
  2. Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora
  3. Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
  4. Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
  5. Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
  6. Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
  7. Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
  8. Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu
  9. Tengah, warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika, 2008: 90)
Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari adalah selain sebagai sthana dari para Dewata  Nawa Sanga juga merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan Anugrahnya dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan Tentram, bahagia, dan sejahtera. Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.

3.1 Simpulan
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih  disebut dengan “Pecanagan”.
Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah Danghyang Markandeya moksah.
Makna filosofis dari canangsari adalah secara teologis adalah tempat Sthana Ida Shang Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai dewata Nawa Sangga yang di mohon kehadirannya untuk memberiakan anugerah kepada manusia. Kemudian secar etika canangsari memiliki makna ketetapan hati dan bhakti kehadapan Ida Shang Hyang Widhi. Dan dari sudut pandang sejarah maka secara filosofis Canangsari merupakan simbol adanya penyatuan sekte-sekte kedalam satu konsep yang disebut dengan Saiwa Shidanta.



DAFTAR PUSTAKA
Pasek Swastika, I Ketut, 2008. Arti Dan Makna Puja Tri Sandhya-Panca Sembah (Bunga, Api, Air,   Kwangen, Canang Sari, Pejati).Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012)
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
          

Selasa, 21 Januari 2014

Unknown  /  23.58  /    /  No comments
Setiap bangsa yang ada di dunia ini pastilah mempunyai kebudayaan, bahkan bangsa yang paling primitive pun mempunyai sebuah kebudayaan. begitupun bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa menyebabkan Bangsa Indonesia memliki kebuyaan yang beragam. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1981:180).
          Keris merupakan salah satu wujud fisik kebuyaan yang dimiliki Bangsa Indonesia. Keris merupakan warisan kebudayaan dari leluhur kita yang tidak hanya memiliki nilai estetis namun juga memiliki nilai mistis atau bersifat sakral. Tidak sedikit keris yang disakralkan orang hal ini dikarenakan adanya rasa pengakuan bahwa keris adalah karya para ahli. Karena adanya pengakuan itu dan adanya kepercayaan yang mendalam maka timbulah anggapan bahwa keris memiliki keampuhan dan kegunaan menurut anggapannya masing-masing. Hal ini wajar mengingat para Mpu atau orang-orang yang mempunyai keahlian dalam pembuatan keris adalah mahluk yang tertinggi derajatnya dari pada manusia yang lain.
          Selain itu jika kita lihat dalam kehidupan sehari hari umat Hindu di bali sering menggunakan keris sebagai pelengkap banten (sajen) dalam upacara panca yadnya yakni: dewa yadnya, rsi yadnya, manusia yadnya, pitra yadnya, dan bhuta yadnya. Namun tidak banyak yang mengetahui makna dari adanya keris dalam pelaksanaan panca yadnya tersebut. Dan seiring perkembanagan jaman yang dibarengi dengan kemajuan tehnologi yang begitu pesat keris pun semakin dilupakan.
          Karena permasalahan tersebut penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang keris yang merupakan warisan kebudayaan yang memiliki nilai estetis dan mistis yang tinggi. Dalam artikel ini penulis berharap dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi para pembaca tentang keris sehingga dapat membangkitkan minat dan kesadaran pembaca untuk mempelajari dan melestarikan keris sebagai warisan kebudayaan dari leluhur kita, dengan asumsi bahwa kita sebagi generasi penerus wajib melestarikan kebudayan yang telah diwariskan kepada kita, hal ini penting demi lestarinya kewibawaan leluhur kita.




Search