Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu
Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi
secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan
Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk
mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama.
Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan
untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah
suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari
Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan
yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri
melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri
mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah
yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang
perkawinan.
Meskipun sudah bukan hal yang baru
lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling
strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk
bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman seperti yang
diungkapkan Surtawan (2011: 1) bahwa
modernisasi dan globalisasi mengakibatkan
semakin tergesernya sendi-sendi kehidupan, termasuk semakin terkikisnya
nilai-nilai religiusitas pada sebagian umat Hindu. Secara langsung globalisasi
juga mempengaruhi sistem perkawinan masyarakat Bali.
Masyarakat Bali memiliki adat istiadat atau budaya yang sangat melekat
erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama hindu.
Dalam prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan”
dalam masyarakat dikenal berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan
dengan desa, kala, patra. Umumnya
dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa
(laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak
pradana (perempuan). Hal ini disebakan karena masyarakat Bali menganut system
patrilineal. Dalam system ini pihak laki-laki mendapatkan posisi yang lebih,
dan merupakan prioritas.
Namun ada sedikit pergeseran nilai yang terjadi didalam sistem perkawinan
masyarakat Hindu. Kini dikenal istilah perkawinan Pada Gelahang. Lalu apa yang menyebabkan system perkawinan ini
unik? Hali ini disebabkan karena baik pihak laki-laki ataupun perempuan
sama-sama memiliki fungsi sebagai Purusha
di dalam keluarganya dan masih mempunyai hak dan kewajiban yang penuh didalam
keluarganya masing-masing terutama dalam hal waris. Hal ini berbeda dengan
perkawinan pada umumnya dimana pihak perempuan akan kehilangan hak dan
kewajiban didalam keluarganya. Berbeda juga dengan system pernikahn nyentana
yang dalam system pernikahan ini pihak laki-laki yang berfungsi sebagi Pradana yang secara otomatis menghapus
hak dan kewajiban di keluarganya.
Perkawinan Pada Gelahang dalam perkembanganya banyak menuai pro dan kontra
dimasyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa Pada Gelahang ini tidak sesuai dengan sistem adat Bali, karena
mengfungsikan perempuan sebagai purusha.
Sebagian yang menilai positif menggangap bawah Perkawinan Pada Gelahang merupakan solusi untuk keluarga yang melaksanakan
perkawianan namun dari kedua pihak hanya memilki anak tunggal.
Terkait dengan hal tersebut maka
penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Perkawinan
Pada Gelahang Perspektif sastra veda”.
download artikel lengkap: Perkawinan Pada Gelahang Perspektif Sastra Veda Perkawinan Pade Gelahang
0 komentar:
Posting Komentar