Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Wayang menyajikan banyak nilai pendidikan sebagai tuntunan hidup. Semoga "The Wayang" dapat memberi inspirasi yang positif.

Download

Follow us on Twitter Subscribe to RSS Subscribe via Email

Sabtu, 25 Januari 2014

Unknown  /  00.25  /    /  No comments
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Meskipun sudah bukan hal yang baru lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman seperti yang diungkapkan Surtawan (2011: 1) bahwa modernisasi dan globalisasi  mengakibatkan semakin tergesernya sendi-sendi kehidupan, termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai religiusitas pada sebagian umat Hindu. Secara langsung globalisasi juga mempengaruhi sistem perkawinan masyarakat Bali.
Masyarakat Bali memiliki adat istiadat atau budaya yang sangat melekat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama hindu. Dalam prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam masyarakat dikenal berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Hal ini disebakan karena masyarakat Bali menganut system patrilineal. Dalam system ini pihak laki-laki mendapatkan posisi yang lebih, dan merupakan prioritas.
Namun ada sedikit pergeseran nilai yang terjadi didalam sistem perkawinan masyarakat Hindu. Kini dikenal istilah perkawinan Pada Gelahang. Lalu apa yang menyebabkan system perkawinan ini unik? Hali ini disebabkan karena baik pihak laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai Purusha di dalam keluarganya dan masih mempunyai hak dan kewajiban yang penuh didalam keluarganya masing-masing terutama dalam hal waris. Hal ini berbeda dengan perkawinan pada umumnya dimana pihak perempuan akan kehilangan hak dan kewajiban didalam keluarganya. Berbeda juga dengan system pernikahn nyentana yang dalam system pernikahan ini pihak laki-laki yang berfungsi sebagi Pradana yang secara otomatis menghapus hak dan kewajiban di keluarganya.
Perkawinan Pada Gelahang dalam perkembanganya banyak menuai pro dan kontra dimasyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa Pada Gelahang ini tidak sesuai dengan sistem adat Bali, karena mengfungsikan perempuan sebagai purusha. Sebagian yang menilai positif menggangap bawah Perkawinan Pada Gelahang merupakan solusi untuk keluarga yang melaksanakan perkawianan namun dari kedua pihak hanya memilki anak tunggal.
Terkait dengan hal tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Perkawinan Pada Gelahang Perspektif sastra veda”.

0 komentar:

Posting Komentar

Search